Judul: Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia
Penulis: Binsar Gultom SH,SE,MH

Penerbit: Pustaka Bangsa Press Medan
Tahun: 2008
Tebal: 261 halaman

Titik tolak penanganan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum terbit UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah secara eksplisit (tegas) diatur menurut Pasal 43 Ayat (2) UU Pengadilan HAM. Menurut penjelasan Pasal 43 Ayat (2) UU tersebut, “dalam hal DPR-RI mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Adhoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti (tempat dan waktu peristiwa) tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat, tetap dapat dilaksanakan oleh Jaksa Agung tanpa terlebih dahulu dibentuk Pengadilan HAM Adhoc. Pengalaman Indonesia ketika penyelidikan dan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur dan Tanjung Priok telah terlebih dahulu dilakukan oleh Komnas HAM dan Jaksa Agung, barulah kemudian dibentuk Pengadilan HAM Adhoc-nya berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) No 53 tahun 2001 oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang diperbaharui dengan Keppres No 96 Tahun 2001 oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri kala itu.

Menurut amanat Pasal 20 Ayat (1) UU Pengadilan HAM-pun, telah tegas menyebutkan bahwa adanya dugaan pelanggaran HAM berat diperoleh berdasarkan temuan hasil penyelidikan Komnas HAM. Dari hasil temuan itulah Komnas HAM memberikan kesimpulan kepada Penyidik Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti hingga dibentuk Pengadilan HAM Adhoc.

Demikian salah satu cuplikan isi bab buku jilid II berjudul: Pandangan Kritis Seorang Hakim karya Binsar Gultom, SH, SE, MH Ketua Pengadilan Negeri Simalungun. Buku itu sendiri telah dibedah dan diluncurkan di Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Medan 16 Agustus 2008 di depan 19 orang akademisi profesor dan doktor Ilmu Hukum dari berbagai Perguruan Tinggi se-Indonesia. Bedah buku juga berlangsung di halaman kantor PN Simalungun Sumatera Utara Kamis 18 September 2008 di hadapan para Penegak Hukum (polisi, jaksa, hakim dan pengacara) serta Muspida plus Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar.

Dalam buku jilid II tersebut diungkapkan bahwa DPR tak mungkin mengeluarkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Adhoc kepada presiden tanpa terlebih dahulu jaksa agung menindaklanjuti hasil temuan kesimpulan penyelidikan Komnas HAM. DPR-RI hanyalah memberi rekomendasi atau mengusulkan kepada presiden agar diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Pengadilan HAM Adhoc atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM yang berat berdasarkan temuan Komnas HAM dan Jaksa Agung tersebut. Persoalannya, jika Presiden langsung membentuk Pengadilan HAM Adhoc, tanpa melalui penyelidikan dan penyidikan, tidak akan diketahui apakah peristiwa itu pelanggaran HAM berat atau tidak. Dan hal itu akan bertentangan dengan Pasal 43 dimaksud. Akibatnya, jika ternyata hasil penyelidikan dan penyidikan tersebut bukan merupakan kasus pelanggaran HAM berat, maka akan sia-sia dibentuk Pengadilan HAM Adhoc tersebut. Jika pihak Kejaksaan tetap bertahan dan bersikeras tidak bisa menyidik kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum di bentuk Pengadilan HAM Adhoc adalah pendapat yang “keliru” dan “salah”.

Menyangkut tindakan seperti izin penyitaan, penahanan oleh Jaksa Agung, tidaklah batal demi hukum, tetapi bisa dilaksanakan melalui Ketua Pengadilan Negeri/HAM Jakarta Pusat, karena selain Pengadilan HAM nya sudah ada di Jakarta Pusat, Medan, Surabaya dan Makassar sesuai Pasal 45 UU Pengadilan HAM juga Pengadilan HAM Adhoc itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Peradilan Umum. Hal itu telah diatur secara tegas menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “pengadilan khusus hanya bisa dibentuk dalam lingkungan peradilan umum”. Oleh karena itu, Pengadilan Khusus HAM dengan sendirinya harus masuk dalam lingkungan peradilan umum.

Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut adhoc, tak boleh begitu saja menolak dan mengembalikan hasil penyelidikan Komnas HAM, tanpa memberi petunjuk yang jelas kekurangan hasil penyelidikan Komnas HAM. Hal ini secara tegas diatur Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM, yang menyebutkan “bahwa dalam hal ketidaklengkapan tersebut, Jaksa Agung wajib memberi petunjuk, perihal kekurangan hasil penyelidikan Komnas HAM.

Bahkan, sesuai Pasal 19 ayat (1) huruf (g) UU Pengadilan HAM, penyidik Jaksa Agung dapat mengembangkan kasus tersebut dengan memerintahkan penyelidik Komnas HAM melakukan tindakan berupa: pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat dan mendatangkan ahli dalam hubungannya dengan penyelidikan. Bila perlu Jaksa Agung sesuai wewenangnya dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1) UU Pengadilan HAM, “dapat melakukan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.

Jadi sebenarnya, amanat UU Pengadilan HAM Indonesia sudah lebih dari cukup, hanya pelaksanaannya di lapangan belum sempurna. Di dunia ini tidak satu pun UU yang sempurna. Jika ada komitmen bersama untuk menuntaskan kekurangan penegakan hukum di bidang HAM lewat aparat penegak hukum selaku pihak yang melaksanakan amanat UU tersebut, pastilah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan sekarang dapat diselesaikan secara tuntas.

Adapun isi bab buku selanjutnya menyangkut: Kedudukan dan Fungsi Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim dan pemilihan calon Hakim Agung, masalah Tindak Pidana Korupsi khususnya eksistensi Peradilan Tipikor, Dinamika Hukum di Indonesia dan Delik Pers. (SUARA PEMBARUAN 28/09/2008)